Senin, September 14, 2009

Tidak Sehat Berbuka dengan yang Manis

Menggugat apa yang sudah menjadi mapan di masyarakat adalah absah ketika memiliki dasar dan argumentasi yang kuat untuk untuk menemukan kebenaran. Mengutip kalimat dari Bertran Russel, Dalam segala urusan hidup, sungguh sehat apabila sesekali kita menaruh tanda tanya besar terhadap perkara-perkara yang sudah diterima sebagai kewajaran sampai tak pernah dipertanyakan lagi. Begitu pula sikap kita terhadap kebiasaan, bahkan menjadi anjuran para da’I untuk berbuka puasa dengan makanan dan minuman yang manis. Pemahaman ini sudah menjadi mapan dalam masyarakat Islam. Termasuk terhadap penulis adalah demikian.

Seperti biasanya, saya dalam memenuhi hasrat keingin tahuan berbagai hal dan informasi membuka situs jaringan social Facebook, bukan untuk chating atau menyampaikan keluh kesah sebagaimana kebanyakan teman di FB, namun untuk membaca catatan yang diposting teman melalui catatannya. Adalah catatan Dr. Muhsin Labib yang menarik perhatian saya untuk segera saya baca, sebab dari judulnya saja, Jangan berbuka dengan yang manis menarik perhatian. Selama ini dalam pemahaman umum, bahwa islam menganjurkan untuk berbuka puasa dengan yang manis. Dalam catatan beliau menguti dua buah hadist dari Rasulullah Muhammad Saw,
Dari Anas bin Malik ia berkata : “Adalah Rasulullah berbuka dengan Rutab (kurma yang lembek) sebelum shalat, jika tidak terdapat Rutab, maka beliau berbuka dengan Tamr (kurma kering), maka jika tidak ada kurma kering beliau meneguk air. (Hadits riwayat Ahmad dan Abu Dawud)
Nabi Muhammad Saw berkata : “Apabila berbuka salah satu kamu, maka hendaklah berbuka dengan kurma.Andaikan kamu tidak memperolehnya, maka berbukalah dengan air, maka sesungguhnya air itu suci.”
Kalau memperhatian isi dari hadits tersebut ada dua yang paling dianjurkan, yaitu berbuka dengan kurma dan berbuka dengan air putih apabila kurma tidak ada. Apabila dua-duanya ada maka berbuka dengan keduanya.
Lalu mengapa ummat islam telah mempatenkan, bahwa berbuka sangat diajurkan dengan yang manis? Dari mana asal muasal perintah ini?
Sebetulnya keadaan ini tidak sepatutnya untuk dipersalahkan. Ini kemungkinan awalnya dari dari cara berfikir yang overgeneralisir. Artinya, dari satu,dua kasus kemudian menarik kesimpulan yang berlaku secara umum. Contohnya, Dalam hadits di atas diajurkan untuk berbuka dengan kurma. Dalam mengecap kurma, rasanya adalah manis. Sehingga dari ini disimpulkan bahwa Nabi menganjurkan yang manis. Padahal, rasa buah kurma yang masih segar tidak terlalu manis.
Mengapa kurma yang diperjual belikan di Indonesia terasa amat sangat manis?. Ini karena kurma itu bukan lagi kurma yang asli dan segar, tetapi sudah diproses menjadi manisan kurma sehingga bisa bertahan dan awet. Sehingga rasa kurmanya sangat manis.
Berbuka dengan yang manis bisa merusak kesehatan. Mengapa? Kerena ketika berpuasa kadar gula darah menurun dalam 10-12 jam secara perlahan-lahan, dari sejak menahan di waktu imsyak sampai berbuka puasa di waktu malam. Makanan ataupun minuman yang manis mengandung karbohidrat sederhana, ini bisa mengakibatkan kadar gula darah melonjak secara cepat. Ini sangat tidak sehat. Bukan hanya tidak sehat, tapi membahayakan kondisi tubuh. Apalagi dalam keadaan kosong, lalu mengalami lonjakan yang sangat tinggi, bisa berisiko.
Dalam kompas.com edisi 1 september 2009, juga mengulas tentang Berbuka yang manis, keliru. Dalam edisi tersebut diuraikan, bahaya mengkonsumsi yang manis setelah berpuasa, sebab bisa menaikkan kadar gula darah secara cepat, dan itu sangatberbahaya bagi kesehatan. Yang ideal, setiap kali manusia makan selalu terdapat 3 makro nutrient. Yaitu, karbohidrat, protein dan lemak. Karbohidrat berkualitas -lambat dicerna menjadi gula (Glisemik Indeks rendah), agar tidak "menggoda" insulin yang berdampak munculnya hormon-hormon eikosanoid yang tidak diinginkan (dengan akibat: menyempitkan pembuluh darah, mengentalkan darah, mencetuskan sel-sel yang tidak diinginkan, menekan kekebalan tubuh, dan mendorong munculnya peradangan). Karbohidrat baik juga berserat, alkalis, dan tinggi antioksidan.
Kandungan kurma berbeda dengan kandungan makanan atau minuman yang manis. Kurma adalah karbohidrat kompleks, sedangkan makanan dan minuman yang manis adalah karbohidrat sederhana.
Jadi, apa yang paling dianjurkan untuk dikonsumsi saat berbuka puasa agar tetap mengikuti perintah nabi dan mengikuti pola hidup sehat? Di bawah ini saya mengutip dialog Dr. Muhsin Labib dan seorang gurunya yang alim,
Beliau (Muhsin Labib) bertanya tentang hal ini kepada seorang sufi yang diberi Allah ‘ilm tentang urusan kesehatan jasad manusia. Kata Beliau, bila berbuka puasa, jangan makan apa-apa dulu. Minum air putih segelas, lalu sholat maghrib. Setelah shalat, makan nasi seperti biasa. Jangan pernah makan yang manis-manis, karena merusak badan dan bikin penyakit. Itu jawaban beliau.Kenapa bukan kurma? Sebab kemungkinan besar, kurma yang ada di Indonesia adalah ‘manisan kurma’, bukan kurma asli. Manisan kurma kandungan gulanya sudah jauh berlipat-lipat banyaknya.Kenapa nasi? Lha, nasi adalah karbohidrat kompleks. Perlu waktu untuk diproses dalam tubuh, sehingga respon insulin dalam tubuh juga tidak melonjak. Karena respon insulin tidak tinggi, maka kecenderungan tubuh untuk menabung lemak juga rendah.
Semoga ramadhan yang tersisa 6 hari ini bisa menjadi waktu untuk mengevaluasi kebiasaan berbuka puasa yang tidak sehat. Berpuasa dalam islam bukan hanya sekedar menghambakan diri kepada Tuhan yang Maha Agung untuk mendapat rahmatNya, tetapi juga untuk penyembuh dan menjaga kesehatan fisik. Dengan puasa manusia bisa sehat baik secara ruhani, maupun secara fisik. Tujuan puasa untuk menyehatkan pelakunya. Nah, akankah sehat itu akan diraih dengan pola konsumsi yang salah?, tentu saja, tidak. Olenya itu, kalau mau sehat dengan puasa sepantasnyalah mengikuti tuntunan Nabi dan itu selaras dengan penjelasan kesehatan.
(Allahu a’lam bisshowab)
Selamat mencoba, Salam Kompasiana.
Masamba, 14 September 2009
Muhammad Rajab
Rujukan ;
1. http://www.facebook.com/note.php?note_id=157616100729&id=1163109407&ref=mf
2. http://perempuan.kompas.com/read/xml/2009/09/01/14203592/quotberbukalah.dengan.yang.manisquot.keliru
Selengkapnya...

Pelacur

“Pelacur” adalah kata yang selalu disematkan pada seorang wanita yang berprofesi sebagai penjaja seks komersial. Wanita yang rela ‘menukarkan’ tubuhnya dengan tumpukan kertas yang dinamai uang, yang rela ditiduri oleh ribuan lelaki hidung belang hanya untuk sesuap nasi, yang menggadaikan kehormatannya kepada setiap om-om yang berdasi lagi berkantong tebal. Alasan penyematan kata “pelacur” pada wanita yang berprofesi sebagai penjaja seks lebih karena profesi itu dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari prilaku individu dan sosial yang seharusnya. Sinonim kata pelacur adalah prostitusi. Kata prostitusi sendiri berasa dari bahasa yunani “prostitut”. Cendekiawan yang pertama kali memberi pemaknaan kepada kata prostitut adalah Sokrates. Beliau mengkritik kaum sophis (Gorgias dan Protagoras) yang telah melakukan kapitalisasi atas pendidikan di athena, yunani. Sokrates sempat berguru kepada Georgias, karena sokrates tidak punya uang, maka ia hanya diajari dasar-dasar ilmu (Ilmu kaum sophis menganggap kebenaran itu subjektif). Olehnya itu, Sokrates bangkit lalu melakukan perlawanan intelektual kepada kaum sophis. Sokrates menuding kaum sophis sebagai prostitut. Ia –sokrates- lalu mengajarkan filsafat sebagai sebuah metode untuk menemukan kebenaran. Dari dialah filsafat mulai bangkit, lalu dilanjutkan oleh dua muridnya plato dan aristoteles.

Tapi, penulis lebih memilih menggunakan kata pelacur dalam tulisan ini karena dua hal pertama, ia –kata pelacur- lebih mudah disebut oleh lidah saya dan mungkin anda juga. Kedua, ia lebih dekat dengan kita. Ketika ada yang menyebut kata pelacur, maknanya langsung hadir dalam fikiran kita. Pemaknaan itupun juga sangat tergantung pada qualitas ilmu yang dimiliki.
Uraian di atas, memberikan gambaran kepada kita makna pelacur adalah setiap orang yang dengan rela menukarkan kehormatannya dengan sejumlah uang/pangkat/harta/jabatan atau materi lainnya. Prilaku tukar-menukar ini kamudian akan mengakibatkan terjadinya penyimpangan sosial. Pemaknaan ini mengandung tiga unsur sekaligus yang melekat pada kata pelacur. Pertama, unsur manusia. Pokoknya manusia yang dimaksud dalam unsur ini adalah semua orang, laki-laki maupun perempuan, tuan dan puan, pejabat dan rakyat, ustadz/pastor dan jamaahnya dan lain-lain. Ia –unsur manusia- tidak terbatas pada jenis kelamin, stratifikasi sosial, warna kulit dan lain-lain. Pendeknya semua yang masih merasa manusia akan masuk unsur ini (Termasuk saya dan anda yang sedang membaca tulisan ini). Kedua, menukarkan kehormatan. Menukarkan berarti memberikan sesuatu dan mengharapkan sesuatu dari orang yang diberi. Apa yang diberikan? Dan apa yang diharapkan? Yang diberikan adalah kehormatan. Ia –kehormatan- adalah kata yang memiliki makna abstrak. Ia lahir dari sistem nilai yang diyakini oleh seseorang. Namun, kehormatan yang kita maksudkan disini adalah identitas kemanusiaan kita. Karena ia adalah identitas kemanusiaan kita, maka ia adalah kebenaran. Misalnya, seorang wanita yang berprofesi sebagai penjual seonggok daging di selangkangannya : Pelacur. Seorang lelaki yang datang menikmati seonggok daging itu dengan menjual setumpuk kertas yang disebut uang : Pelacur. Seorang ingin jadi PNS/Polisi/Tentara lalu menyogok sampai puluhan juta rupiah : Pelacur. Seorang yang disogok oleh orang yang ingin jadi PNS/Polisi/Tentara : Pelacur. Pemerintah dan swasta yang menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai sarana meraup keuntungan sebanyak-banyaknya : Pelacur. Seorang aktivis mahasiswa maupun LSM yang mallejja’ : Pelacur. Dan banyak lagi yang lainnya. Ketiga, Sejumlah uang/pangkat/harta/jabatan atau materi lainnya. Tadi. Ada pertanyaan di atas, apa yang diharapkan? Tentu saja yang diharapkan adalah apa yang terkandung dalam unsur ketiga. Transaksi tukar-menukar didak dimaknai daloam hubungtan subjek-objek. Aqrtinya, bukan perempuan yang menjual onggoka daging itu sebagai subjek maupun objek, dan bukan pula lelaki berhidung belang. Namun keduanya adalah pelaku, dan keduanya adalah sama-sama subjek. Sehingga keduanya adalah : pelacur.
Makna pelacur bisa disematkan pada sesdorang apabila orang tersebut memenuhi ketihga unsur tersebut di atas. Jadi, bisa jadi semua orang adalah pelacur. Tergantung prilaku orang tersebut, apakah memenuhi unsur atau tidak.
Pelacur : Laki-laki dan perempuan
Pernah dalam sebuah diskusi dengan kelompok mahasiswa saya mengajukan pertabnnyaan kepada mereka, apa beda laki-laki dan perempuan? Mereka menjawab, laki-laki adalah yang bukan perempuan, begituipun sebaliknya. Pemaknaan ini sebernaya terjebak ke dalam kesalahn berfikir yang disebut dengan circular reasoning (alasan yang selalu berputar-putar). Dan pemaknaan ini tidak bisa dipakai untuk meknai perempuan dan laiki-laki dalam tulisan ini. Makna laki-laki dan perempuan dalam tulisan ini sebagaimana dalam contoh perempuan penjaja seks konmersial di atas. Ada yang menjual onggokan daging dan ada yang datanbg menjual tunpukan kertas yang bernilai, yang dunamainya UANG.Yang menjual onggokan daging itulah yang disebut PEREMPUAN, dan yang menjual tumpukan kertas itulah yang disebut : LAKI-LAKI. Sementara pelacur adalah kata yang disematkan pada kedua makhluk itu berdasarkan perilakunya.
Pelacurkah lelaki yang datang untuk menikmati onggokan daging dengan menjual tumpukan kertas yang dinamai uang?. Ya. Pasti, ia adalah pelacur. Karena ia adalah masuk kategori manusia. Kamudian, ia juga telah menukarkan tumpukan kertas yang ia miliki dengan onggokan daging. Lalu, ia mengharapkan tubuh mulus yang dimiliki oleh perempuan untuk dinikmati. Lelaki bisa memenuhi ketiga unsur itu. Bukan hanya perempuan. Lalu, kalau ada klausa Prempuan Pelacur, maka harus pula ada klausa Lelaki Pelacur. Biar imbanglah.
Pelacurkah lelaki dan perempuan yang memiliki tumpukan kertas yang disebut uang, lalu menukarkannya dengan status PNS/Polisi/Tentara atau sederat status sosial lainnya? (Termasuk juga jadi pejabat politik). Ya, mereka adalah Pelacur. Lalu, melacurkah lelaki dan perempuan yang memiliki kewenangan untuk menyeleksi calon PNS/Polidi/Tentara, lalu menukarkan kewenangan itu dengan setumpuk kertas yang disebut uang? Ya, mereka juga adalah pelacur. Keduanya adalah manusia, keduanya juga melakukan transaksi tukar-menukar dan mengharapkan sesuatu dari yang diberi. Yang satu mengharapkan uang dan yang lainnya mengharapkan kelulusan. Prilaku keduanya adalah prilaku yang menyimpang dari sistem sosial yang seharusnya. Di negeri ini, dan khususnya di daerah ini sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam seleksi calon PNS/Polisi/Tentara selalu diwarnai oleh tindakan seperti di atas. Oknum pejabat yang melakukan itu adalah Pejabat Pelacur. Dan, calon yang melakukan itu adalah juga Pelacur.
Melacurkah pemerintah dan swasta yang menjadikan pendidikan dan kesehatan sebagai sarana untuk meraup keuntungan sebanyak-banyaknya?. Melacur jugakah seorang aktivis mahasiswa maupun LSM yang mallejja’? Ya, prilaku mereka itu adalah prilaku yang melacur, karena prilaku itu menyimpang dari yang seharusnya.
Untuk apa orang melacurkan diri? Alasan pelacuran diri memang banyak dan beragam. Pertanyaan ini mungkin setiap orang memberikan jawaban yang berbeda. Namun, alasan yang paling dominan adalah UANG. Makhluk inilah –uang- yang banyak menggoda ummat manusia untuk melacurkan diri. Padahal uang itu hanyalah kertas yang diberi nilai nominal oleh manusia. Lalu, mengapa ia begitu banyak mempengaruhi manusia?. Apakah karena nilai nominalnya? Ataukah manusianya yang telah terasing dari yang ia –manusia- ciptakan sendiri?.
Akhirul kalam, mengutip bahasa maxim gorki, “Uang itu sungguh benda jahat, selalu membingungkan, baik waktu hendak mengeluarkan maupun waktu hendak menerima”. (Allahu a’lam bisshowab)
Selengkapnya...

Rabu, September 02, 2009

Bahaya Penyelewengan dalam Sumber Agama

Catatan Ali Yahya.

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang.
Alquran al Karim mencela orang yang melakukan “tahrif” atau penyimpangan terhadap suatu perkara dan ucapan-ucapan. Tahrif atau penyimpangan ini dapat dibagi menjadi dua bagian:
Bentuk pertama dari tahrif ialah, melakukan pengurangan atau penambahan terhadap suatu ucapan atau tulisan. Terkadang seorang pengkhianat melakukan tahrif dengan cara mengurangi atau menambahi satu karya yang telah dihasilkan oleh orang lain. Sedikit sekali kitab-kitab lama atau klasik yang tetap terjaga dari sentuhan tangan-tangan orang yang melakukan tahrif. Bukan hanya itu, mereka juga bahkan melakukan tahrif terhadap diwan atau kumpulan syair para penyair. Mereka membuang beberapa syair darinya atau bahkan menambahkannya, atau mungkin mereka mengubah beberapa kata atau kalimat, sehingga hal ini memberikan kesulitan kepada para peneliti yang datang sesudahnya. Tahrif atau penyimpangan model ini dikenal dengan istilah “penyimpangan kata”.

Bentuk lain dari tahrif atau penyimpangan ialah “penyimpangan arti” atau yang dikenal dengan istilah “tahrif maknawi”. Dalam penyimpangan arti, tidak terjadi penambahan atau pengurangan dari segi kata atau kalimat. Namun dari segi penafsiran, keterangan, dan takwil, arti suatu perkataan sudah demikian jauh menyimpang hingga seolah-olah telah terjadi perubahan kata. Bentuk ini pun salah satu dari bentuk pengkhianatan.
Pengkhianatan bisa terjadi pada harta, pada jiwa, pada harga diri bahkan bisa terjadi pada pemikiran dan tujuan. Apabila seseorang mengeluarkan suatu pandangan atau pemikiran, maka kewajiban kita adalah menisbatkan atau menghubungkan perkataan itu dengan arti apa adanya, tanpa menyentuh atau mengubah perkataan itu.
Penyimpangan atau penyelewengan yang dilakukan terhadap suatu perkataan atau tulisan orang lain sudah begitu biasa hingga tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang penting. Sebagai contoh, seseorang yang melakukan tahrif atau penyimpangan terhadap karya seorang penyair, mungkin itu dianggap tidak begitu penting. Namun tatkala seseorang melakukan tahrif atau penyimpangan terhadap kitab suci atau sabda Nabi dan Imam, yang merupakan sandaran pasti bagi jutaan orang, maka jelas orang ini telah melakukan perbuatan yang tidak bisa diampuni.
Dalam ilmu logika terdapat satu pembahasan yang bernama “mughalathah” atau “sophistique”. Dalam pembahasan ini terdapat tiga belas (13) bentuk “cara menyalahkan” yang dapat digunakan oleh seseorang untuk menipu pikiran. Para ahli menjelaskan masalah ini dengan maksud supaya seorang mahasiswa pencari kebenaran mengetahui bentuk dan cara “mughalathah” serta cara penipuan. Ini dimaksudkan agar dia tidak terjebak oleh cara-cara demikian. Para ahli mengatakan, faedah terbesar yang diberikan ilmu logika adalah mengetahui macam-macam bentuk “mughalathah” atau “sophistique”, dengan demikian mereka dapat menghindarinya. Ini tidak ubahnya seperti ilmu kedokteran yang memberikan informasi tentang berbagai bentuk penyakit dan penyebabnya.
Salah seorang sahabat besar Rasulullah saw., Ammar bin Yasir, termasuk kaum Muslimin yang awal. Dia bersama ibu dan bapaknya telah masuk Islam sejak di kota Makkah. Mereka bertiga telah merasakan siksaan dari penduduk Makkah yang tidak menyukai keislaman mereka. Ayah dan ibu Ammar bin Yasir syahid terbunuh di bawah siksaan orang-orang Makkah, namun Ammar selamat dan berhasil hijrah ke kota Madinah.
Pada hari-hari pertama masuk ke kota Madinah, yang pertama Rasulullah saw. lakukan adalah mengukur tanah untuk membangun masjid. Pada hari-hari itu pula kaum Muslimin bekerja sama bahu membahu membangun dinding masjid. Masjid yang dimaksud adalah masjid yang sekarang dikenal dengan nama “Masjid Nabawi”. Masjid Nabawi sekarang telah mengalami perluasan. Rasulullah secara pribadi ikut serta membangunnya. Salah seorang dari mereka yang membangun masjid ialah Ammar bin Yasir. Ammar tampak sangat bersemangat dan bekerja keras. Saat itu Rasulullah saw. berkata di hadapan orang-orang yang sedang berkumpul bahwa nanti Ammar akan dibunuh oleh sekelompok kaum Muslimin yang membangkang.
Di sela-sela ucapan Rasulullah saw. tadi, beliau juga mengisyaratkan pada satu hukum yang terdapat di dalam Alquran, yang intisarinya sebagai berikut, “Mungkin akan terjadi peperangan saudara di antara kaum Muslimin. Dalam keadaan yang demikian seluruh kaum Muslimin tidak boleh tinggal diam. Pertama-tama yang harus dilakukan ialah mengusahakan perdamaian di antara keduanya. Apabila salah satu dari kedua kelompok itu membangkang dan tidak mau berdamai, maka kewajiban seluruh kaum Muslimin untuk membantu kelompok yang menginginkan perdamaian serta memerangi kelompok yang membangkang.”
Perkataan yang dikatakan Rasulullah saw. mengenai Ammar bin Yasir, pada hakikatnya adalah pemberitahuan kepada kaum Muslimin bahwa dalam waktu dekat, sebelum berakhirnya umur Ammar bin Yasir, niscaya akan terjadi suatu peristiwa sebagai mana yang telah disyaratkan dalam Alquran.
Sejak hari itu kabar yang disampaikan oleh Rasulullah saw. telah menyebar ke seluruh kaum Muslim, dan Ammar bin Yasir telah menjadi ukuran apabila terjadi perselisihan di antara kaum Muslim. Setelah kurang lebih 37 tahun berlalu dari pemberitahuan Rasulullah saw. itu, terjadilah Perang Shiffin antara Imam Ali al Murtadha as. beserta segenap sahabat Rasulullah saw. di satu pihak, dengan Muawiyah beserta orang-orang Syam di pihak yang lain.
Ammar bin Yasir termasuk orang yang berperang di pihak Imam Ali as. dan dia terbunuh pada peperangan Shiffin itu. Terbunuhnya Ammar bin Yasir menciptakan kegaduhan di kubu Muawiyah dan orang-orang Syam. Mereka teringat sabda Rasulullah saw. yang mengatakan bahwa, “Ammar bin Yasir akan terbunuh di tangan kelompok pembangkang”. Di sini terjadilah tahrif maknawi atau penyimpangan arti, yaitu dilakukannya takwil dan penjelasan yang dimaksudkan untuk menipu khalayak ramai. Muawiyah berkata, “Perkataan Rasulullah saw. yang mengatakan bahwa pembunuh Ammar bin Yasir adalah kelompok pembangkang, itu adalah benar. Namun perlu diketahui bahwa Ali yang merupakan pembunuh Ammar karena Ali yang telah membawa Ammar bersamanya.”
Salah seorang yang hadir di majelis berkata, kalau demikian maka pembunuh Hamzah, penghulu para syuhada, adalah Rasulullah saw. karena Rasulullah saw. yang telah membawa Hamzah bersamanya dan Hamzah berperang di pihaknya. Namun orang-orang Syam kala itu demikian bodohnya sehingga tetap termakan oleh tipuan-tipuan Muawiyah.
Faktor yang mendukung terjadinya penyimpangan dan penyelewengan adalah kebodohan masyarakat ramai. Masyarakat terlebih-lebih harus sadar dan waspada terhadap sandaran agama dan akhlak mereka, hingga keduanya tidak sampai mengalami tahrif atau penyimpangan. Bentuk tahrif atau penyimpangan yang paling berbahaya adalah penyimpangan yang dilakukan terhadap sumber agama, yaitu penyimpangan yang dilakukan terhadap Alquran, hadis-hadis Nabi, dan perkataan para Imam as.
Penyelewengan terhadap Alquran dalam bentuk penambahan atau pengurangan kata-katanya sama sekali tidak pernah terjadi dan tidak akan terjadi. Akan tetapi, tidak ada yang dapat menghalangi terjadinya penyimpangan dari segi arti penafsiran serta penakwilan ayat-ayatnya. Betapa banyak Alquran telah menderita dari penyimpangan-penyimpangan seperti ini. Untuk mengurangi ketajaman yang dimiliki oleh kitab yang sangat mulia ini, tidak ada yang lebih ampuh daripada memberikan takwil dan penafsiran yang menyimpang.
Kitab suci Alquran adalah jaminan bagi terpeliharanya kaum Muslimin, namun dengan syarat kaum Muslimin juga ikut memelihara Alquran dari sisi pemeliharaan dan sisi penyimpangan arti, penakwilan, dan penafsiran yang menyimpang.[dikutip dari Jejak-jejak Ruhani, karya Murtadha Muthahhari, penerbit Lentera]
Selengkapnya...